Tomohon, SulutMaju.Com – Koperasi Merah Putih Kelurahan Kinilow siap mengembalikan kejayaan kopi seperti saat di masa kolonial. Koperasi ini di dirikan pada
Rabu 7 Mei 2025, di Kelurahan Kinilow, Kecamatan Tomohon Utara, Kota Tomohon.

Berdirinya koperasi ini sesuai Instruksi Presiden Republik Indonesia yaitu pencanangan Program Koperasi Merah Putih yang bertujuan untuk Bangsa dan Negara serta Indonesia Emas pada 2045 mendatang.

Koperasi Merah Putih adalah sebuah organisasi berbasis koperasi yang umumnya bertujuan untuk memperkuat ekonomi kerakyatan dengan semangat nasionalisme, gotong royong, dan pemberdayaan masyarakat.

Beberapa koperasi di Indonesia yang menggunakan nama “Merah Putih”, pada umumnya maksud dan tujuannya mencakup hal-hal berikut:

Maksud dan Tujuan Koperasi Merah Putih (umum):

1.Meningkatkan Kesejahteraan Anggota:
Menjadi wadah bagi para anggotanya untuk memperoleh manfaat ekonomi bersama melalui kegiatan usaha yang dikelola secara kolektif.

2.Mendorong Kemandirian Ekonomi Masyarakat:
Membangun kemandirian ekonomi berbasis komunitas lokal, khususnya dalam sektor riil seperti pertanian, perikanan, UMKM, perdagangan, atau jasa.

3.Menumbuhkan Semangat Nasionalisme Ekonomi:
Sesuai dengan namanya “Merah Putih”, koperasi ini ingin mendorong kebangkitan ekonomi nasional yang berakar pada kekuatan rakyat sendiri.

4.Mewujudkan Sistem Ekonomi Berkeadilan:
Melawan praktik ekonomi yang eksploitatif dan menggantikannya dengan sistem yang adil, transparan, dan menyejahterakan semua pihak.

5.Menjadi Sarana Pendidikan dan Pembinaan Anggota:
Memberikan pelatihan, pembinaan, dan penguatan kapasitas bagi anggotanya agar mampu bersaing dan berinovasi dalam dunia.

Minahasa, wilayah pegunungan di Provinsi Sulawesi Utara, telah lama dikenal dengan alamnya yang indah dan budayanya yang kaya. Namun, di balik panorama tersebut, terdapat komoditas unggulan yang semakin mendapat tempat di hati masyarakat lokal maupun nasional yakni kopi Minahasa.

Sejarah kopi di Minahasa mencerminkan perjalanan panjang dari masa penjajahan, melalui perjuangan petani, hingga akhirnya menjadi simbol kebanggaan daerah yang kini mulai menembus pasar nasional bahkan internasional.

Dari Tanam Paksa ke Tradisi Bertani
Kopi pertama kali dibawa ke Indonesia oleh pemerintah kolonial Belanda pada awal abad ke-18. Setelah berhasil dibudidayakan di Batavia, Belanda memperluas areal tanamnya ke berbagai daerah, termasuk Minahasa.

Dengan tanah vulkanik yang subur dan iklim sejuk, daerah ini terbukti sangat cocok untuk menanam kopi jenis Arabika.
Namun, kemunculan kopi di Minahasa tak lepas dari babak kelam sejarah. Pada abad ke-19, Belanda menerapkan sistem tanam paksa (cultuurstelsel) yang memaksa masyarakat menanam kopi dan menyerahkan hasilnya kepada pemerintah kolonial.

Produksi meningkat, tetapi penderitaan petani juga tak terelakkan. Meskipun demikian, era tanam paksa turut membentuk dasar dari tradisi bertani kopi yang tetap hidup hingga kini. Kopi Minahasa yang diolah dan diekspor melalui pelabuhan Manado sudah dikenal memiliki cita rasa khas yang dipengaruhi oleh kondisi geografis dan iklim lokal.

Kebangkitan di Era Modern

Pasca kemerdekaan, sistem tanam paksa dihapuskan. Namun, banyak petani tetap mempertahankan tanaman kopi sebagai sumber penghidupan utama. Budaya menanam kopi diwariskan dari generasi ke generasi.

Dalam dua dekade terakhir, geliat baru muncul seiring dengan meningkatnya minat masyarakat terhadap kopi lokal. Gerakan kopi spesialti dan tren “ngopi” di kalangan generasi muda membuka peluang baru bagi kopi Minahasa.

Wilayah seperti Kinilow, Woloan, Pinaras, dan Kembes mulai dikenal sebagai sentra kopi Arabika dan Robusta berkualitas.
Anak-anak muda, komunitas kopi, koperasi, hingga pelaku usaha kecil ikut berkontribusi dalam memodernisasi teknik budidaya, memperbaiki pengolahan pascapanen, hingga mempromosikan kopi melalui festival dan pameran produk lokal.

Peluang dan Tantangan

Kopi Minahasa memiliki potensi besar untuk dikembangkan lebih jauh, khususnya melalui pendekatan berbasis komunitas dan peningkatan kualitas produk. Integrasi antara produksi kopi dan kegiatan agrowisata juga membuka peluang untuk menarik wisatawan sekaligus memperkenalkan kekayaan budaya lokal.
Namun, sejumlah tantangan masih harus dihadapi, seperti keterbatasan teknologi pertanian, infrastruktur pasar yang belum memadai, perubahan iklim, serta minimnya regenerasi petani karena populasi yang menua. Semua ini menuntut kerja sama lintas sektor—pemerintah, swasta, dan masyarakat—untuk mencari solusi berkelanjutan.

Lebih dari Sekadar Komoditas

Kopi Minahasa bukan hanya soal rasa atau hasil panen. Ia merupakan bagian dari identitas budaya, simbol ketahanan masyarakat, dan peluang ekonomi yang menjanjikan. Dengan dukungan yang tepat, kopi ini bisa terus berkembang sebagai kebanggaan daerah dan harum hingga ke mancanegara.

Minahasa, wilayah pegunungan di Provinsi Sulawesi Utara, telah lama dikenal dengan alamnya yang indah dan budayanya yang kaya. Namun, di balik panorama tersebut, terdapat komoditas unggulan yang semakin mendapat tempat di hati masyarakat lokal maupun nasional: kopi Minahasa.

Sejarah kopi di Minahasa mencerminkan perjalanan panjang dari masa penjajahan, melalui perjuangan petani, hingga akhirnya menjadi simbol kebanggaan daerah yang kini mulai menembus pasar nasional bahkan internasional.

Dari Tanam Paksa ke Tradisi Bertani
Kopi pertama kali dibawa ke Indonesia oleh pemerintah kolonial Belanda pada awal abad ke-18. Setelah berhasil dibudidayakan di Batavia, Belanda memperluas areal tanamnya ke berbagai daerah, termasuk Minahasa. Dengan tanah vulkanik yang subur dan iklim sejuk, daerah ini terbukti sangat cocok untuk menanam kopi jenis Arabika.

Namun, kemunculan kopi di Minahasa tak lepas dari babak kelam sejarah. Pada abad ke-19, Belanda menerapkan sistem tanam paksa (cultuurstelsel) yang memaksa masyarakat menanam kopi dan menyerahkan hasilnya kepada pemerintah kolonial.

Produksi meningkat, tetapi penderitaan petani juga tak terelakkan.
Meskipun demikian, era tanam paksa turut membentuk dasar dari tradisi bertani kopi yang tetap hidup hingga kini. Kopi Minahasa yang diolah dan diekspor melalui pelabuhan Manado sudah dikenal memiliki cita rasa khas yang dipengaruhi oleh kondisi geografis dan iklim lokal.

Kebangkitan di Era Modern

Pasca kemerdekaan, sistem tanam paksa dihapuskan. Namun, banyak petani tetap mempertahankan tanaman kopi sebagai sumber penghidupan utama. Budaya menanam kopi diwariskan dari generasi ke generasi.

Dalam dua dekade terakhir, geliat baru muncul seiring dengan meningkatnya minat masyarakat terhadap kopi lokal. Gerakan kopi spesialti dan tren “ngopi” di kalangan generasi muda membuka peluang baru bagi kopi Minahasa. Wilayah seperti Kinilow, Woloan, Pinaras, dan Kembes mulai dikenal sebagai sentra kopi Arabika dan Robusta berkualitas.
Anak-anak muda, komunitas kopi, koperasi, hingga pelaku usaha kecil ikut berkontribusi dalam memodernisasi teknik budidaya, memperbaiki pengolahan pascapanen, hingga mempromosikan kopi melalui festival dan pameran produk lokal

Peluang dan Tantangan

Kopi Minahasa memiliki potensi besar untuk dikembangkan lebih jauh, khususnya melalui pendekatan berbasis komunitas dan peningkatan kualitas produk. Integrasi antara produksi kopi dan kegiatan agrowisata juga membuka peluang untuk menarik wisatawan sekaligus memperkenalkan kekayaan budaya lokal.
Namun, sejumlah tantangan masih harus dihadapi, seperti keterbatasan teknologi pertanian, infrastruktur pasar yang belum memadai, perubahan iklim, serta minimnya regenerasi petani karena populasi yang menua. Semua ini menuntut kerja sama lintas sektor, pemerintah, swasta, dan masyarakat, untuk mencari solusi berkelanjutan.

Lebih dari Sekadar Komoditas

Kopi Minahasa bukan hanya soal rasa atau hasil panen. Ia merupakan bagian dari identitas budaya, simbol ketahanan masyarakat, dan peluang ekonomi yang menjanjikan. Dengan dukungan yang tepat, kopi ini bisa terus berkembang sebagai kebanggaan daerah dan harum hingga ke mancanegara.

Kinilow merupakan salah satu lokasi penanaman kopi di saat masa kolonial Belanda sesudah Indonesia merdeka sudah ada pergeseran komiditas tanaman perkebunan lain seperti Cengkeh dan tanaman perkebunan lainnya. Olehnya melalui Koperasi Merah Putih Kelurahan Kinilow mau menggali budaya menanam Kopi dan proses pengolahannya dengan teknologi kekinian selain pengembangan potensi pertanian lainnya dan juga komoditas Peternakan dan Perikanan. Semoga!

Susunan Pengurus Koperasi Merah Putih Kelurahan Kinilow.

Ketua Dewan Pendiri Prof Ir Kawilarang Warouw Alex Masengi, MSc, PhD. Ketua Koperasi Erens Kereh, Ketua Dewan Pengawas Boy Undap, SE, Konsultan Ishak Christanto, SE. (*)