Oleh: Yulius Aris Widiantoro (Dosen Mata Kuliah Religisotas)

SulutMaju – Media sosial dalam beberapa waktu ini muncul percakapan hangat terkait statement Pendeta Gilbert Lumoindong saat berkunjung pada podcast dokter Richard Lee. Reaksi keras bermunculan karena pernyataannya yang ‘seakan’ mereduksi iman Kristen. Istilah ‘seakan’ digunakan supaya saya tidak terjerat pada penilaian sepihak. Saya sangat memahami munculnya reaksi pada dasarnya merupakan bentuk perhatian tulus dari rekan-rekan supaya Pendeta Gilbert Lumoindong tetap berada pada koridor keimanan sebagai seorang Kristiani apalagi pada diri beliau melekat institusi (sinode) yang selama ini menjadi wadah yang telah membesarkannya.

Supaya rekan pembaca tidak menyalahpahami, tulisan ini bukan upaya pembelaan terhadap statement beliau melainkan sebagai ‘sarana’ tepat untuk mengembangkan spirit diskusi dengan menyajikan perspektif yang saya harapkan dapat menyelesaikan polemik berkepanjangan. Dengan demikian kita dapat membangun semangat keimanan yang inklusif. Kepada rekan-rekan yang memilih jalur oposisi dengan statement Pendeta Gilbert Lumoindong saya sangat menghormatinya sebagai bagian dari cara kita merawat akal sehat. Pikirna kita akan mendapatkan nutrisi justru kita membiarkannya berada dalam ketegangan karena kita akan dipaksa ‘berpikir’. Teringat dengan pemikir besar bernama Hegel, cara berpikir dialektis dimana thesis yang tidak alergi dengan antithesis. Artinya adalah hal lazim jika pemahaman kita bahkan keimanan juga melibatkan diri dari percakapan yang bisa jadi menyejukan tetapi kadang kala menegangkan.

Pesan saya untuk Pendeta Gilbert Lumoindong dan kepada pemabaca dimanapun berada, benarlah ada yang dikatakan oleh Karlina Supeli (Supeli, 2010) bahwa dalam setiap kata ada pertaruhan makna. Pernyataan kita selalu memiliki konsekuensi karena ada pertaruhan makna (identitas) karena itu baik kepada Pendeta Gilbert Lumoindong maupun rekan-rekan yang memberi catatan kritis untuk kembali menimbang setiap lontaran ungkapan (pernyataan) yang sangat mungkin menjadi celah yang akan sulit dikendalikan.

Kembali pada statement Pendeta Gilbert Lumoindong pada podcast dokter Richard Lee bagi saya pribadi terlalu prematur jika kita menilai sebagai bentuk reduksi terhadap sakralitas iman Kristiani. Dalam perspektif kekristenan, iman merupakan hal yang sentral bagi seseorang untuk menerima jaminan keselamatan dan pembenaran dalam Kristus (justification of faith). Dengan kata lain, iman merupakan episentrum dalam skenario keselamatan umat manusia. Saya sependapat dengan pernyataan Kierkegaard bahwa iman merupakan mujizat yang mengubah cari hidup seseorang. Pernyataan ini hendak menegaskan bahwa dalam beriman selalu memotivasi seseorang melakukan ‘lompatan’ besar mengatasi hal-hal yang melampaui nalar kita.

Setiap manusia apapun agamanya (dalam konteks masyarakat Indonesia) menyebut diri mereka sebagai Subjek Iman. Naluri beriman masyarakat Indonesia merupakan penegasan tentang naluri keagamaan (the religious natural of man). Namun sangat disayangkan model beriman kebanyakan kita, masih terjebak dalam fanatisme, sehingga membuat kita terjerembab dalam paradigma yang eksklusif. Kita akan mudah terganggu ketika mendengar seseorang yang dianggap ‘seiman’ tetapi mendadak menyatakan pandangan yang kontras. Kita lantas ‘mengeroyok’ di media dengan kalimat-kalimat yang kurang elok.

Sehubungan dengan kata ‘beyond’ (melampui) mengingatkan kita tentang ‘Orang Samaria Yang Murah Hati’. Dalam kisah tersebut, Yesus diperhadapakan dengan pertanyaan sofistik dari Ahli Taurat tentang siapakah sesama manusia? Kita semua tahu bahwa cara berpikir Ahli Taurat dan sebagian masyarakat masa itu, yang dimaksud dengan ‘sesama’ adalah mereka yang memiliki identitas sama. Bagi orang Yahudi kala itu, orang Samaria bukanlah sesama yang pantas mendapat perlakukan istimewa karena masa lalu Samaria yang dianggap offside dari ketekunan menjaga hukum Tuhan. Dengan kata lain, orang Yahudi menyakini bahwa merekalah satu-satunya kelompok yang sukses menjadi penjaga sekaligus pelaku Taurat. Orang Samaria dianggap gagal dan selamanya mendaptkan stigma negatif. Tidak demikian dengan Yesus, Yesus membuka selubung berpikir orang Yahudi yang selama ini terkurung dalam sangkar ritual seolah merekalah yang benar. Model iman seperti pada contoh Ahli Taurat, membuat mereka mengisolasi dari pergaulan dan pada akhirnya membawa mereka pada sikap ‘merasa’ benar. Dan akibat ekstrim dari sikap ‘merasa’ benar justru menjauhkan mereka dari kebenaran sejati dalam Yesus Kristus.

Model beriman semacam ini, bukanlah model yang Yesus kehendaki. Bagi Yesus iman tidak akan membuat kita masuk dalam dikotomisasi benar vs salah, beriman vs kafir, mayoritas vs minoritas dan lain-lain yang selama ini membuat bangsa kita tidak dapat melangkah dengan leluasa menyongsong masa depan jika kita selalu saling curiga hanya karena berbeda identitas, cara berpikir, status sosial, Pendidikan dan lan-lain.

Kembali pada viralnya statement Pendeta Gilbert Lumoindong pada podcast bersama dokter Richard Lee hal tersebut bukan merupakan inkonsistensi iman dalam Kristus, justru sebagai wujud kematangan diri seseorang dalam menyikapi perbedaan. Beberapa public figure yang login atau berpindah keyakinan tentu sangat disayangkan oleh agama manapun yang ditinggalkan. Tetapi jika berpindahnya keyakinan seseorang lahir dari suatu proses pencarian iman, kita tidak punya hak menghakimi pilihan bebasnya. Saya yakin jika seseorang benar-benar ‘mencari’ maka sesuatu yang menjadi pilihannya hari ini akan menuntunnya kepada sumber kebenaran. Karena bagi setiap orang yang mencari, mereka akan mendapatkannya.

Hal penting lainnya menyikapi rekan atau siapapun yang berpindah keyakinan tidak lantas membuat kita terputus seolah mereka tidak layak kita dekati. Iman yang benar justru akan mengantarkan kita pada sikap dan kerelaan membangun relasi dan bukan isolasi. Bagi saya berhadapan dengan siapapun dan apapun identitasnya bahkan mereka yang berpindah keyakinan, cara bijak adalah tetap membangun relasi. Dengan sikap membangun relasi maka maka kebutuhan mendasar manusia sebagai makhluk sosial menjadi terpenuhi.

Sekali lagi saya menegaskan tulisan ini hadir sebagai pembelajaran bagi kita semua bahwa perjalanan rohani dilalui selama ini haruslah bermuara pada sikap seperti yang diteladankan Yesus yaitu ‘melampuai’ identitas. Sekalipun Yesus tahu konsekuensi sosial yang akan dihadapiNya tetapi Ia sedang memberikan edukasi revolusioner bahwa mengubah sesuatu hanya akan ‘mungkin’ terwujud melalui persahabatan (relasi) dan bukan perdebatan yang cenderung menegasi yang lain (sesama). (*/hvs)