Jakarta SulutMaju.Com – Praktisi Hukum Dolfie Rompas, SH, MH, menegaskan bahwa peristiwa Permesta (Perjuangan Rakyat Semesta) dan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia), tidak dapat dikatakan peristiwa pemberontakan, karena tidak ada produk hukum apapun yang menyatakan bahwa baik Permesta maupun PRRI telah melakukan suatu tindak pidana pemberontakan.

Menurut Dolfie, berdasarkan pasal 108 KUHPidana maupun Pasal 106 dan 107 KUHPidana tentang Makar, bahkan tidak ada satupun ketetapan dari Negara yang menyatakan bahwa permesta maupun PRRI telah melakukan Pemberontakan atau perbuatan Makar terhadap pemerintahan yang sah pada waktu itu.

Ia mengatakan, fakta ini di perkuat dengan adanya Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 322 Tahun 1961 Tentang Pemberian Amnesti Dan Abolisi kepada para pengikut gerakan Permesta dibawah pimpinan Alex Kawilarang, Laurens Saerang dan Jan Somba, yang memenuhi panggilan pemerintah untuk kembali kepangkuan ibu pertiwi. Dalam Keppres tersebut diatas memutuskan menetapkan:

Pertama: Memberikan amnesti dan abolisi kepada para pengikut gerakan Permesta dibawah pimpinan Kawilarang, Laurens Saerang dan Somba, yang telah memenuhi panggilan pemerintah untuk kembali kepangkuan Ibu Pertiwi.

Kedua: Dengan memberikan amnesti, maka semua akibat hukum pidana terhadap orang orang yang termasuk dalam ketentuan pertama dihapuskan.

Selain itu, kata Dolfie, dengan pemberian abolisi, maka penuntutan terhadap orang orang yang termasuk dalam ketentuan pertama ditiadakan. Sehingga dengan adanya Keppres tersebut diatas maka Permesta dianggap bukanlah suatu tindakan pemberontakan.

“Seseorang tidak boleh disebut bersalah sebelum dibuktikan kesalahannya melalui putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap “Asas Praduga Tak Bersalah” (Presumption Of Innocence) vermoeden van onschuld,” jelasnya.

Sehingga Dolfie menganggap dengan tidak adanya putusan hukum apapun yang menyatakan bahwa peristiwa Permesta dan PRRI adalah suatu Tindak pidana pemberontakan atau perbuatan makar sampai hari ini, maka peristiwa tersebut bukanlah pemberontakan atau suatu perbuatan makar.

Dikatakan, bahwa Permesta tidak bermaksud memisahkan diri dari Negara Indonesia, tetapi lebih kepada pembagian kekuatan politik dan ekonomi yang lebih adil. Permesta memperjuangkan otonomi daerah yang lebih besar dan juga pembagian pendapatan pemerintah yang lebih besar untuk daerah guna pelaksanaan proyek-proyek pembangunan di daerah.

Dolfie mengatakan, harus dilakukan pelurusan sejarah dan stigma pemberontakan terhadap Permesta dan PRRI harus dihentikan, karena stigma tersebut sangat merugikan nama baik keluarga besar Permesta maupun keluarga besar PRRI, dan lebih khusus masyarakat Sulawesi Utara pada umumnya.

Berdasarkan catatan yang ada, Permesta dideklarasikan pada 2 Maret 1957 di Makassar, Sulawesi Selatan. Pemimpin yang mendeklarasikan Permesta adalah Letkol H.N Ventje Sumual. 

Deklarasi Permesta untuk protes dan permintaan terhadap pemerintahan Soekarno, agar memberikan otonomi yang lebih besar khususnya bagi Indonesia Timur. Permintaan tersebut juga ditujukan agar adanya pemerataan proyek pembangunan di daerah. Selain itu Permesta menilai pemerintahan Soekarno waktu itu dekat dengan partai komunis. Pusat gerakan Permesta awalnya berada di Makassar, kemudian markas besar Permesta dipindahkan ke Manado di Sulawesi Utara.

Sementara, PRRI diproklamasikan pada tanggal 15 Februari 1958 di Padang, Sumatera Barat dimotori oleh Letnan Kolonel Ahmad Husein. Alasan pembentukan PRRI karena
Pemerintah Soekarno dianggap inkonstitusional dan mengabaikan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat di daerah, serta adanya kecemburuan pemerintah daerah terhadap program pembangunan yang dilakukan di Jakarta. (*)